THANK YOU FOR VISIT MY BLOG

Thursday, December 16, 2010

Menyusuri Jejak Jepang dan Sekutu di Halmahera

Jepang telah membangun pertahanan di Halmahera. Pusat pemerintahan, pusat komando angkatan laut, darat dan udara Jepang terdapat di Ternate dengan wilayah Kao, Wasilei, Tobelo, Galela, Bacan, dan Morotai sebagai pusat pertahanan terhadap Sekutu. Di Kao dibangun sebuah lapangan terbang dengan dua landasan, dan terletak di timur laut Halmahera. Lapangan terbang yang lainnya terdapat di Wasilei, Meti (Tobelo), Galela dan Bacan. Pembangunan lapangan terbang tersebut dengan menggunakan tenaga kerja paksa (romusha) rakyat Indonesia. Lubang pertahanan terletak di pinggir pantai desa Kusu kecamatan Kao, sehingga memudahkan dalam menyerang musuh yang datang dari arah laut. Sekutu menyerang Kao pada tanggal 21 Agustus sampai 7 Desember 1944. Penyerangan dilakukan dengan pesawat  B-25, B-24, P-47, A-20dan P-38  yang menyerang lapangan terbang Kao dan kota Kao (www.PacificWreck.com;Morotai). Penyerangan teluk Kao oleh Sekutu dilakukan dari tanggal 11 Agustus 1944 sampai 26 Oktober 1944 dengan menggunakan pesawat B-25, P-38, P-40, dan A-20. Sasaran penyerangan ke teluk Kao berupa pelabuhan angkatan laut Jepang dan kapal perang Jepang. Beberapa kapal perang Jepang dapat dihancurkan pihak Sekutu, bahkan sampai sekarang masih tersisa 2 buah di pantai Kao dan 1 buah di pantai Sosol, Malifut. Tentara Jepang di Malifut yang terdesak masuk ke lubang perlindungan yang berupa lorong yang sempit dan panjang di perbukitan.
Jepang mendarat di Morotai pada tahun 1942. Tentara Jepang terdiri dari satu batalyon yang kemudian mereka membangun lapangan terbang (yang sekarang merupakan lokasi transmigrasi SP 2, dan karenanya di lokasi tersebut sudah menjadi lahan persawahan). Kemudian lapangan kedua dibangun di Morotai Selatan yang sekarang merupakan Dusun MTQ dan lokasi tersebut telah dibangun gedung pertemuan, gedung sekolah dan perumahan. Pada proses pembuatan lapangan terbang tersebut menurut informasi yag di dapat dari tokoh masyarakat yang mengalami zaman Jepang, bahwa dalam pengerjaannya menggunakan tenaga rakyat sebagai romusha untuk dipekerjakan di lokasi pembuatan lapangan terbang. Romusha terdiri dari penduduk kampung setempat dan sekitarnya. Pekerjaan awal adalah memotong pohon kelapa dan pohon-pohon yang ada di lokasi, dengan cara yang tradisional yaitu dengan tenaga manusia. Lokasi lapangan terbang merupakan kebun kelapa milik penduduk. Akan tetapi lapangan terbang di Dusun MTQ ini belum terselesaikan dan belum didarati pesawat karena pada saat itu Sekutu dengan pasukan dan pesawat-pesawat yang jumlahnya banyak. Atas kedatangan tentara Sekutu inilah maka tentara Jepang melarikan diri, sembunyi di daerah di hutan.
Di Dusun Gotalamo tentara Jepang terdiri dari satu batalyon akan tetapi karena lemahnya pertahanan mereka sembunyi ke hutan. Dusun Gotalamo, oleh Jepang dijadikan sebagai markas. Di dusun ini juga, pasukan Amerika dan Sekutunya juga pernah membangun lapangan terbang darurat dengan bahan landasan pacu terbuat dari besi. Di Morotai, Jepang tidak mendirikan bangunan untuk pertahanan, gedung dan lain-lain. Agar tidak diketahui oleh Sekutu Jepang membuang alat-alat perang dan pesawat-pesawat ke pantai atau ditanam di dalam tanah. 
Pada saat ini benda-benda yang berujud alat-alat perang, pesawat yang dulu dibawa Jepang, kini sudah tidak ada, bahkan bekas-bekasnya sekaligus (oleh penduduk sudah dijual dan untuk bangkai pesawat dijadikan kerajinan besi putih).
Pada saat ini peninggalan Jepang yang masih tersisa berupa tank yang terdapat di lokasi perkebunan penduduk di Dusun Gotalamo. Peninggalan yang lain yaitu tempat persembunyian Nakamura di daerah Pilowo. Gua persembunyian Nakamura terletak di tebing pinggir sungai masuk ke dalam hutan. Nakamura adalah tentara Jepang yang bersembunyi di hutan dan baru ditemukan pada tahun 1973 oleh pejabat Kecamatan Morotai, Fungsionaris Kedutaan Jepang dan dibantu oleh pasukan Angkatan Udara di Morotai serta atas petunjuk penduduk di sekitar hutan. Nakamura dibujuk dengan lagu-lagu rakyat Jepang melalui pengeras suara dan bendera Jepang. Nakamura pada saat itu masih memiliki senapan organik yang masih berfungsi baik dan 5 butir amunisi. Sebelum Nakamura, beberapa tahun sebelumnya terdapat 9 tentara Jepang yang lari ke hutan dan hidup bercocok tanam dan bahkan mempunyai peternakan babi.
Sementara peninggalan Jepang di Kao dan Malifut banyak dijumpai gua-gua tempat persembunyian dan penyimpanan senjata dan bahan makanan yang biasanya dibangun di daerah perbukitan. Sementara di sepanjang pantai terdapat lofra yaitu berupa bangunan yang dibuat dari beton dengan macamnya ada 2. Pertama ditempatkan di bibir pantai atau tidak jauh dari pantai dengan lubang ventilasi sebagai lubang untuk mengawasi musuh dan lubang tempat senjata untuk menembak musuh yang datang mendekat. Kedua adalah lofra yang dibangun di pinggir pantai sebagai tempat persembunyian/pertahanan.
Pada 8 Desember 1941, pesawat terbang dikomandoi oleh Laksamana Madya Chuichi Nagumo melaksanakan serangan kejutan terhadap Pearl Harbor, pangkalan angkatan laut AS terbesar di Pasifik. Penyerangan ini merupakan pengalaman pahit bagi Amerika dan Sekutunya. Sejak saat itu AS mengumumkan perang melawan Jepang. atas kesuksesan penyerangan di Pearl Harbor inilah merupakan langkah awal Jepang untuk menguasai Asia. Saat itu Jepang menggunakan 360 pesawat pembom dan pemburu untuk memporakporandakan pangkalan militer itu. Serangan itu menenggelamkan dan merusak hebat 8 kapal tempur Angkatan Laut Amerika. Sejak saat itu lenyaplah superioritas armada Sekutu Inggris-Amerika di semua samudra, kecuali di Samudra Atlantik. Atas suksesnya serangan itu maka terbuka lebar Filiphina, Malaya, Indonesia, Australia, New Zeland bagi serangan Jepang. Bersamaam dengan serangan terhadap Pearl Harbor tersebut, Jepang juga menyerang pangkalan udara AS di Filiphina. Setelah serangan ini, Jepang menginvasi Filiphina, Hongkong yang merupakan koloni Inggris, Malaya, Borneo dan Birma dengan maksud menguasai ladang minyak Hindia Belanda. Seluruh wilayah ini, dan lebih luas lagi, jatuh ke tangan Jepang dalam waktu hitungan bulan saja. Markas britania Raya di Singapura juga dikuasai. Penguasaan ini oleh Churchil dianggap sebagai salah satu kekalahan yang memalukan.
Menyusul Deklarasi PBB pada tanggal 1 Januari 1942, secara resmi pemerintah Sekutu menunjuk Wavell. Pembentukan ABDACOM berarti Wavell memiliki kendali seremonial atas angkatan yang besar namun kurang tersebar, yang meliputi wilayah dari Burma di barat, Nugini Belanda dan Filipina di timur. Daerah lain, termasuk India Britania dan Hawaii tetap secara resmi di bawah komando terpisah, dan pada prakteknya Jenderal Douglas MacArthur memegang kendali penuh angkatan Sekutu di Filipina. Atas keinginan Wavell, separuh barat Australia Utara ditambahkan ke area ABDA. Australia lainnya berada di bawah kendali Australia, begitupun Wilayah Nugini. Wavell tiba di Singapura, di mana British Far East Command bermarkas, pada tanggal 7 Januari 1942. ABDACOM menyerap komando Britania ini secara keseluruhan. Pada tanggal 15 Januari, Wavell memindahkan markasnya ke Bandung di Jawa dan memegang kendali operasi Sekutu. Keberhasilan penting pertama angkatan itu di bawah ABDACOM adalah serangan US Navy atas Balikpapan, Borneo pada tanggal 24 Januari, yang merusak 6 kapal pengangkut Jepang, namun tak banyak berpengaruh pada mereka yang mencaplok ladang minyak berharga di Borneo. Pemerintah Australia, Belanda dan Selandia Baru melobi Winston Churchill untuk dewan perang antarpemerintahan Sekutu, dengan tanggung jawab penuh untuk usaha perang Sekutu di Asia dan Pasifik, bermarkas di Washington D.C.. Sebuah Far Eastern Council (kemudian dikenal sebagai Pacific War Council) didirikan di London pada tanggal 9 Februari, dengan dewan staf yang berkorespondensi di Washington. Namun, kuasa-kuasa yang lebih kecil terus mendorong badan yang bermarkas di AS. Dalam pada itu, kejatuhan yang cepat atas pertahanan Sekutu pada serangan Jepang di Malaya, Singapura, Hindia-Belanda, Filipina, dan negeri lain segera membanjiri Rintangan Melayu. Jatuhnya Singapura pada tanggal 15 Februari melepaskan komando ABDA, yang dibubarkan beberapa minggu kemudian. 
Serangan Jepang, 23 Desember 1941 – 21 Februari 1943. Wavell mundur sebagai komandan tinggi pada tanggal 25 Februari 1942, mengalihkan kendali Area ABDA ke komandan lokal. Ia juga merekomendasikan pendirian 2 komando Sekutu untuk menggantikan ABDACOM: sebuah komando Pasifik Barat Daya, dan komando bermarkas di India. Untuk menanggulanginya, Wavell telah memegang kendali Burma kepada British India Command dan menduduki kembali jabatannya yang dahulu, sebagai Panglima Tertinggi India. Menyusul penghancuran AL ABDA utama di bawah Laksamana Muda Karel Doorman, dalam Pertempuran Laut Jawa, antara bulan Februari-Maret 1942, ABDA secara efektif berhenti melakukan serangan. Karena Jepang mendekati angkatan Sekutu yang tersisa di Filipina, MacArthur diperintahkan pindah ke Australia. Pada tanggal 17 Maret, pemerintah AS mengangkatnya sebagai Komandan Sekutu Tertinggi di Daerah Pasifik Barat Daya, komando yang memasukkan Australia dan Nugini di samping daerah yang dipegang Jepang. Sisa area geografis Teater Operasi Pasifik tetap di bawah komando Daerah Samudera Pasifik, dipimpin oleh Laksamana Tinggi Chester Nimitz dari US Navy. Dewan Perang Pasifik yang bersifat antarpemerintahan didirikan di Washington pada tanggal 1 April, namun masih tak berguna karena dominasi angkatan AS di Asia dan Pasifik sepanjang perang. Memasuki tahun 1943, AS mulai melancarkan ofensif balik. Dimulai dari Papua Niugini yang dikuasai Jepang. Laksamana Yamamoto awal April, memerintahkan serangan udara besar terhadap posisi Amerika di Kepulauan Solomon. Namun gagal, karena pilot Amerika lebih unggul. Yamamoto sendiri tewas, setelah pesawatnya disergap penempur P-38 Lightning, 18 April. Jepang kehilangan ahli strateginya yang paling ulung. Kekalahan demi kekalahan dialami Jepang di Pasifik. Misalnya pertempuran di sekitar Kepulauan Marshall. Dalam dua hari, Jepang kehilangan 270 pesawat. Hanya dua kapal induk veteran Jepang yang masih operasional : Shokaku dan Zuikaku, ditambah kapal induk baru Taiho. Atas dasar pertemuan kekuatan dengan Sekutu di atas maka penguasaan oleh Jepang atas Indonesia semakin diperkuat dengan semboyan 3 A. Maluku Utara sebagai wilayah Indonesia tak lepas dari penguasaan oleh Jepang. Dengan pusat pemerintahan di Ternate, pasukan Jepang juga ditempatkan pada pelosok-pelosok di wilayah Halmahera. Ditambah lagi bahwa Jepang telah memperhitungkan lokasi Maluku Utara yang berbatasan langsung dengan Filiphina dan Samudra Pasific dimana pasukan Sekutu telah membangun pangkalan militernya di Kepulauan Pasific tersebut. Dengan banyak mendirikan pertahanan-pertahanan untuk menghadapi Sekutu, Jepang juga menempatkan kapal perangnya di wilayah Halmahera terutama Halmahera Timur dan Halmahera Utara. Maluku Utara, terutama Kao, Malifut dan Morotai yang memang berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik tak lepas dari invasi Jepang. Walaupun di daerah ini bukan merupakan sumber minyak, namun letak kepulauan ini yang menjadi faktor pendukung untuk mengawasi Sekutu. Di kepulauan inilah akhirnya Jepang berhadapan langsung dengan Sekutu yang juga telah memilih Morotai sebagai pangkalan militernya. Setelah Hollandia direbut, MacArthur mengundang Van Mook membahas masa depan Hindia Belanda. Undangan tersebut tentu disambut antusias oleh Belanda, Belanda berharap bahwa pasukan Sekutu merebut seantero Hindia Belanda, namun tidak disetujui. MacArthur hanya memerlukan pinggiran Hindia Belanda untuk merebut Filipina dan kemudian Jepang. Daerah yang dimaksud adalah pulau Morotai dan bagian timur Kalimantan, pasukan Belanda diajak merebutnya. Bagi Amerika Serikat dan sekutunya, Pulau Morotai memiliki arti sangat penting. Pulau ini merupakan pulau terluar di Maluku Utara dan berbatasan langsung dengan samudra Pasifik. Pulau Morotai merupakan tempat strategis untuk melancarkan serangan balasan yang menentukan terhadap Jepang di Filiphina dan Korea. Di pulau inilah Sekutu menjadikan markas dan konsolidasi ratusan ribu pasukannya  baik darat, laut dan udara. Pulau ini juga telah dipilih Panglima Divisi VII AS Jenderal Douglas MacArthur untuk membuktikan ucapannya ketika akan melarikan diri ke Australia,“I shall return”.
Pada tanggal 15 September 1944 tentara Sekutu mendarat di Morotai. Raungan ratusan pesawat terbang Sekutu memecah kesunyian malam pada bulan September itu. Raungan yang menggelegar angkasa Morotai saat itu dirasakan penduduk bagaikan hendak kiamat. Mereka tidak menduga akan datangnya ratusan pesawat dan dengan rasa takut, terkejut dan terheran-heran menyaksikan pemandangan yang spektakuler tersebut. Pada saat yang bersamaan ratusan kapal perang melakukan pendaratan laut pertama di Tanjung Dehegila Morotai Selatan. Sejak saat itu, Morotai dijadikan markas militer Sekutu. Pasukan dari kapal perang menyiapkan landasan pacu darurat berupa 12 landasan yang dipasangi air strip (pelat besi berlubang ukuran 1,5 x 0,5 m) dalam waktu yang sangat singkat. Untuk selanjutnya Sekutu membangun lapangan terbang permanen. Bahan dasar pembuatan landasan pacu terbuat dari batu karang yang dikeraskan dengan minyak hitam,  dengan panjang 2.700 m, lebar 40 m , jumlah terdiri dari 7 landasan pacu. Lapangan terbang ini terletak di Desa Pitu, sehingga terkenal dengan nama Pitu Strip. Sedikitnya Sekutu menempatkan 3.000 pesawat tempur, pesawat angkut, dan pengebom. Pasukan yang ditempatkan di Morotai terdiri dari 63 batalyon tempur. 
Taktik yang digunakan Jenderal MacArthur dalam menyerang Jepang di Philipina adalah ”taktik lompat katak”. Taktik ini diilhami oleh sebuah dongeng kuno Klein Duimje, yang menceritakan seorang anak kecil mencuri sepatu lars raksasa, dengan sepatu tersebut si anak kecil dapat melompat sejauh tujuh mil (zevenmijls laarzen). Akal tersebut digunakan Jenderal MacArthur untuk menyerang Jepang, namun bukan tujuh mil sekali lompat, bahkan sampai ratusan mil jauhnya. Setelah menguasai Kepulauan Admiralty di Pasifik bulan April 1944, melompat ke Holandia (Jayapura) yang jaraknya 500 mil. Pulau Morotai sebelumnya telah dikuasai Jepang, bahkan sudah sempat dibangun lapangan terbang guna pendaratan tentara Jepang, tepatnya di kampung SP2 dan dusun MTQ, namun belum selesai sudah diserang Sekutu. Tentara Jepang yang jumlahnya tidak seberapa banyak akhirnya lari ke hutan – hutan untuk menyelamatkan diri. Pendaratan tentara Sekutu di Morotai dilakukan oleh pasukan Infantri 31 dibawah komando Mayor Jenderal John Person berjumlah 1000 orang dan diangkut dengan pasukan amfibi Daniel Barbey VII. Pendaratan ini dilakukan di pantai selatan Morotai, dan tugas utama pasukan ini adalah membangun lapangan terbang guna pendaratan pesawat pembom B - 24. Pembangunan landasan pesawat terbang ini memakan waktu sekitar 2 minggu, dan masih berupa landasan darurat.  Benteng pertahanan yang kuat dibangun untuk melindungi markas yang baru dari serangan musuh, yaitu tentara Jepang yang masih berada di Morotai. Tetapi tentara Jepang bergerak cepat, ketika pasukan Devisi 33 dalam perjalanan untuk menggantikan Infantri 31, diserang di pantai Morotai. Pertempuran yang terjadi di Morotai tidak seimbang, karena jumlah tentara Sekutu jauh lebih banyak dari tentara Jepang. Banyak korban jatuh di pihak Jepang, sebagian ditawan dan bahkan ada yang lari ke hutan sampai puluhan tahun, seperti Nakamura yang baru tahun 1973 di ketahui keberadaannya di Morotai. Pasukan Jepang menggunakan area bukit 40 sebagai markasnya dan merupakan ancaman yang serius terhadap instalasi Angkatan Laut dan Angkatan Udara Sekutu. Tentara Jepang mengirim pasukan pengintai dan sering mengganggu tentara Sekutu. Dari dokumen rahasia yang disita, diketahui bahwa tentara Jepang berencana melarikan diri ke hutan dan akan menyerang tanjung Dehegila dan lapangan terbang. Pada malam Natal, pasukan Jepang yang bermarkas di Halmahera menjatuhkan bom di lapangan terbang Morotai, dan merusakkan beberapa pesawat pembom B-24. Patroli Sekutu dapat mengejar dan menjatuhkan dua pesawat Jepang tersebut. Pada tanggal 26 Desember, pasukan Sekutu bergerak menuju Pilowo dan dibagi menjadi dua bagian dengan membawa amunisi dan perbekalan yang cukup. Perjalanan melewati medan hutan yang berat, dan komunikasi radio terputus. Markas pasukan Jepang baru dapat ditemukan pada tanggal 1 Januari 1945, dan diserang keesokan harinya.  Pertempuran di Morotai berakhir pada tanggal 14 Januari 1945, dengan memakan korban 870 pasukan Jepang terbunuh, dan 10 ditawan, sedangkan pihak Sekutu meninggal 46 dan 104 luka-luka.

Jika kita melihat begitu besar dan banyaknya armada tempur Sekutu yang ditempatkan di Morotai, maka tidak mengherankan jika strategi penyerangan atas Filiphina, Korea, dilakukan dari pangkalan militer ini. Pertempuran di Laut Filipina terjadi 19-20 Juni 1944. AS menampilkan pesawat baru lagi, Grumman F6F Hellcat yang lebih hebat dibanding Wildcat. Dalam pertempuran hebat ini, seorang pilot Jepang yang baru saja diluncurkan dari geladak Taiho, melihat sebuah torpedo musuh meluncur menuju kapal induknya. Ia langsung menukikkan pesawatnya ke torpedo itu. Namun pengorbanannya sia-sia, karena Taiho terkena torpedo lain yang meledakkan kapal induk ini. Saat bersamaan, Shokaku juga tenggelam. Dari 373 pesawat yang lepas landas dari kapal induk Jepang, hanya 130 berhasil kembali. Apabila ditambah dengan pesawat Jepang yang berpangkalan di darat, maka kehilangan Jepang mencapai 315 pesawat. Sementara Amerika, hanya 23 buah.
Kondisi Jepang yang makin terpepet, akhirnya melahirkan gagasan yang dalam sejarah peperangan udara dianggap unik, yakni serangan Kamikaze, dewa angin. Konsep kamikaze dalam PD II bukanlah bunuh diri fanatik, karena motivasinya lebih pada "satu orang, satu kapal perang". Hal ini dianggap sebagai satu-satunya kesempatan untuk mengatasi superioritas Amerika yang mulai dirasakan sejak akhir 1944. Serangan kamikaze pertama dirasakan Amerika dalam pertempuran Teluk Leyte, yang merupakan pertempuran laut terbesar dalam Perang Dunia II, dan sekaligus membawa kekalahan telak bagi Jepang. Serangan itu terjadi ketika sebuah pesawat Zero yang berpangkalan di darat, ditabrakkan ke geladak terbang kapal induk ringan Amerika St. Lo dan menenggelamkannya.

Beberapa peninggalan Sekutu di Morotai antara lain:
a) Bandara Morotai
Peninggalan Sekutu di Morotai adalah lapangan terbang. Bahan dasar pembuatan landasan pacu terbuat dari batu karang yang dikeraskan dengan minyak hitam,  dengan panjang 2.700 m, lebar 40 m , jumlah terdiri dari 7 landasan pacu. Lapangan terbang ini terletak di Desa Pitu, sehingga terkenal dengan nama Pitu Strip. Sedikitnya Sekutu menempatkan 3.000 pesawat tempur, pesawat angkut, dan pengebom. Pasukan yang ditempatkan di Morotai terdiri dari 63 batalyon tempur. Selain itu sebelum membangun lapangan terbang itu, Sekutu telah membangun landasan pacu darurat yang dipasangi air strip (pelat besi berlubang ukuran 1,5 x 0,5 m) dalam waktu yang sangat singkat. Air strip bekas landasan pacu tersebut kini banyak dimanfaatkan penduduk untuk pagar. Sekutu pada saat Perang Dunia II itu menempatkan 3.000 pesawat tempur, pesawat angkut, dan pengebom. Pasukan yang ditempatkan di Morotai terdiri dari 63 batalyon tempur. Pesawat-pesawat Sekutu karena rusak atau sesuatu hal ditinggalkan di Morotai. Pesawat-pesawat itu dulu masih bisa dilihat banyak tetapi sekarang sudah tidak ada, puing-puing pesawat sudah tidak ada, kalaupun ada hanya berupa baling-baling saja. Benda lain yang masih ada adalah sisa-sisa bom dan meriam, yang terdapat di sekitar lokasi bandara dan di perkampungan penduduk yang saat ini dimanfaatkan sebagai tugu desa. Terdapat pula air kaca yang digunakan pasukan Sekutu untuk mandi dan keperluan air bersih lainnya. Air kaca ini berupa ceruk gua yang di bawahnya terdapat sumber air. Lokasi kurang lebih 1 km setelah bandara, arah menuju ke Sangowo.

b) Pantai Dehegila.
Pantai ini terdapat di Tanjung Dehegila, Morotai Selatan. Tempat ini merupakan tempat pendaratan laut pasukan Sekutu dengan armada perangnya.

c) Pulau Sum-Sum
Pulau Sum-sum terletak di perairan Morotai, kurang lebih 20 menit menggunakan transport speedboat dari Daruba. Pulau ini adalah pulau dimana Jenderal MacArthur membangun markasnya untuk mengkoordinasikan pasukannya guna menyerang Jepang. Saat ini peninggalan Sekutu hanya berupa tanki minyak yang masih tersisa di Pantai dan dengan keadaan yang sangat parah kerusakannya. Tanki ini tertimbun tanah, di bibir pantai juga ada bekas-kekas tonggak besi. Adapun markas MacArthur sendiri, saat ini tidak ada sisa-sisa peninggalannya.

Bagi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, Pulau Morotai memiliki arti sangat penting, khususnya saat AS hendak melancarkan serangan balasan yang menentukan terhadap seluruh kepentingan Jepang di Filipina dan Korea di era perang Pasifik (1941-1945). Pulau Morotai dijadikan tempat konsolidasi ratusan ribu pasukannya: darat, laut, dan udara. Dalam kesendirian dan kesunyian di bibir Samudra Pasifik, tak satu pun warga Morotai menduga sebelumnya bahwa negerinya telah masuk dalam skenario inti perang Pasifik. Mereka sedikit pun tidak tahu bahwa mereka telah menjadi bagian dari dendam dan tekad I shall return-nya Panglima Divisi VII AS Jenderal Douglas MacArthur. Dalam ukuran waktu, kehadiran Divisi VII AS lengkap dengan para tentara sekutunya di Morotai terbilang tidak lama, hanya beberapa bulan. Namun, kehadiran MacArthur yang relatif singkat itu kini telah memberikan torehan sejarah yang sangat bernilai.

==================================
Foto-foto eksistensi Sekutu dan Jepang di Halmahera dan Morortai

 Morotai Airstrip

 Bandara Morotai


 Jend. Doughlas McArthur

 Piagam Penyerahan Diri Jepang kepada Sekutu

 Pendaratan Sekutu di Morotai


 Pendaratan Jend. McArthur di Morotai

 Deretan Pesawat di Bandara Morotai



Penyerahan diri Jepang kepada Sekutu di Morotai
(Jend. Nakamura melarikan diri ke Hutan)
==================================
dari berbagai sumber

Thursday, April 8, 2010

REKLAMASI PANTAI DAN DAMPAKNYA TERHADAP WILAYAH PESISIR

Pendahuluan
            Reklamasi adalah suatu proses membuat daratan baru pada suatu daerah perairan/pesisir pantai atau daerah rawa. Hal ini umumya dilatarbelakangi oleh semakin tingginya tingkat populasi manusia, khususnya di kawasan pesisir, yang menyebabkan lahan untuk pembangunan semakin sempit. Pertumbuhan penduduk dengan segala aktivitasnya tidak bisa dilepaskan dengan masalah kebutuhan lahan. Pembangunan yang ditujukan untuk menyejahterakan rakyat yang lapar lahan telah mengantar pada perluasan wilayah yang tak terbantahkan.
            Hal ini menyebabkan manusia memikirkan untuk mencari lahan baru, terutama daerah strategis dimana terjadi aktifitas perekonomian yang padat seperti pelabuhan, bandar udara atau kawasan komersial lainnya, dimana lahan eksisting yang terbatas luasan dan kondisinya harus dijadikan dan diubah menjadi lahan yang produktif untuk jasa dan kegiatan perkotaan.
            Pembangunan kawasan komersial jelas akan mendatangkan banyak keuntungan ekonomi bagi wilayah tersebut. Asumsi yang digunakan disini adalah semakin banyak kawasan komersial yang dibangun maka dengan sendirinya juga akan menambah pendapatan asli daerah (PAD). Reklamasi memberikan keuntungan dan dapat membantu kota dalam rangka penyediaan lahan untuk berbagai keperluan (pemekaran kota), penataan daerah pantai, pengembangan wisata bahari, dan lain-lain. Namun harus diingat pula bahwa bagaimanapun juga reklamasi adalah bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap keseimbangan lingkungan alamiah pantai yang selalu dalam keadaan seimbang dinamis sehingga akan melahirkan perubahan ekosistem seperti perubahan pola arus, erosi dan sedimentasi pantai, dan berpotensi gangguan lingkungan.
            Undang-undang no. 27 tahun 2007 pada pasal 34 menjelaskan bahwa hanya dapat dilaksanakan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari biaya sosial dan biaya ekonominya. Namun demikian, pelaksanaan reklamasi juga wajib menjaga dan memperhatikan beberapa hal seperti a) keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat; b) keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan pelestarian lingkungan pesisir; serta c) persyaratan teknis pengambilan, pengerukan dan penimbunan material.

Prinsip Perencanaan Reklamasi Pantai
            Pada dasarnya kegiatan reklamasi pantai tidak dianjurkan namun dapat dilakukan dengan memperhatikan ketentuan berikut:
- Merupakan kebutuhan pengembangan kawasan budi daya yang telah ada di sisi daratan;
- Merupakan bagian wilayah dari kawasan perkotaan yang cukup padat dan membutuhkan pengembangan wilayah daratan untuk mengakomodasikan kebutuhan yang ada;
- Berada di luar kawasan hutan bakau yang merupakan bagian dari kawasan lindung atau taman nasional, cagar alam, dan suaka margasatwa;
- Bukan merupakan kawasan yang berbatasan atau dijadikan acuan batas wilayah dengan daerah/negara lain.
            Terhadap kawasan reklamasi pantai yang sudah memenuhi ketentuan di atas, terutama yang memiliki skala besar atau yang mengalami perubahan bentang alam secara signifikan perlu disusun rencana detil tata ruang (RDTR) kawasan. Penyusunan RDTR kawasan reklamasi pantai ini dapat dilakukan bila sudah memenuhi persyaratan administratif seperti a) Memiliki RTRW yang sudah ditetapkan dengan Perda yang mendeliniasi kawasan reklamasi pantai; b) Lokasi reklamasi sudah ditetapkan dengan SK Bupati/Walikota, baik yang akan direklamasi maupun yang sudah direklamasi; c) Sudah ada studi kelayakan tentang pengembangan kawasan reklamasi pantai atau kajian/kelayakan properti (studi investasi); dan d) Sudah ada studi AMDAL kawasan maupun regional.
            Rencana detil tata ruang kawasan reklamasi pantai meliputi rencana struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang di kawasan reklamasi pantai antara lain meliputi jaringan jalan, jaringan air bersih, jaringan drainase, jaringan listrik, jaringan telepon. Pola ruang di kawasan reklamasi pantai secara umum meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya. Kawasan lindung yang dimaksud dalam pedoman ini adalah ruang terbuka hijau. Kawasan budi daya meliputi kawasan peruntukan permukiman, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan peruntukan industri, kawasan peruntukan pariwisata, kawasan pendidikan, kawasan pelabuhan laut/penyeberangan, kawasan bandar udara, dan kawasan campuran.
            Tata ruang kawasan reklamasi pantai harus memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan budaya di kawasan reklamasi. Reklamasi pantai memberi dampak peralihan pada pola kegiatan sosial, budaya dan ekonomi maupun habitat ruang perairan masyarakat sebelum direklamasi.Perubahan terjadi harus menyesuaikan 1) Peralihan fungsi kawasan dan pola ruang kawasan; 2) Selanjutnya, perubahan di atas berimplikasi pada perubahan ketersediaan jenis lapangan kerja baru dan bentuk keragaman/diversifikasi usaha baru yang ditawarkan. Aspek sosial, budaya, wisata dan ekonomi yang diakumulasi dalam jaringan sosial, budaya, pariwisata, dan ekonomi kawasan reklamasi pantai memanfaatkan ruang perairan/pantai.

Permasalahan dan Dampak Reklamasi Pantai
            Dampak lingkungan hidup yang sudah jelas nampak di depan mata akibat proyek reklamasi itu adalah kehancuran ekosistem berupa hilangnya keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati yang diperkirakan akan punah akibat proyek reklamasi itu antara lain berupa hilangnya berbagai spesies mangrove, punahnya spesies ikan, kerang, kepiting, burung dan berbagai keanekaragaman hayati lainnya.
            Dampak lingkungan lainnya dari proyek reklamasi pantai adalah meningkatkan potensi banjir. Hal itu dikarenakan proyek tersebut dapat mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan reklamasi tersebut. Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai dan merusak kawasan tata air. Potensi banjir akibat proyek reklamasi itu akan semakin meningkat bila dikaitkan dengan adanya kenaikan muka air laut yang disebabkan oleh pemanasan global.
            Sementara itu, secara sosial rencana reklamasi pantai dipastikan juga dapat menyebabkan nelayan tradisional tergusur dari sumber-sumber kehidupannya. Penggusuran itu dilakukan karena kawasan komersial yang akan dibangun mensyaratkan pantai sekitarnya bersih dari berbagai fasilitas penangkapan ikan milik nelayan.

Studi Kasus Reklamasi Kota Manado
             Adanya reklamasi pantai di Kota Manado yang dikembangkan sebagai kawasan fungsional dengan pola super blok dan mengarah pada terbentuknya Central Business District (CBD), mengakibatkan adanya perubahan wajah kota pada daerah pesisir pantai. Pertumbuhan dan perkembangan Kota Manado menjadi lebih condong ke arah pantai/laut sebingga Kawasan Boulevard lebih terbuka dan menjadi salah satu bagian depan kota yang berorientasi ke laut. Hal ini menyebabkan aktivitas masyarakat banyak terserap pada kawasan tersebut, baik untuk menikmati keindahan pantai ataupun dimanfaatkan oleh sektor informal untuk mencari nafkah. Kondisi seperti yang disebutkan di atas membawa pengaruh terhadap keberadaan ruang publik di Kawasan Boulevard.
            Pengembangan wilayah reklamasi di sekitar kawasan tersebut memperlihatkan gejala mulai hilangnya ruang publik yang ada. Akses masyarakat terhadap view pantai dan pesisirnya mulai berkurang seiring dengan semakin berkembangnya pembangunan di wilayah tersebut.
Dampak reklamasi di pesisir pantai Kawasan Boulevard telah mengakibatkan berkurangnya aksesibilitas ruang publik, ketidakberlanjutan fungsi ruang publik, terciptanya pola penataan ruang publik yang tidak memberikan keleluasaan akses bagi masyarakat dan munculnya pola penguasaan ruang publik yang tertutup dan berkesan private-domain.
            Strategi pengelolaan ruang publik di Kawasan Boulevard akibat dampak reklamasi dilakukan dengan pendekatan yaitu, (i) teknis, berupa peralihan fungsi ruang publik, penataan koridor pesisir pantai akibat reklamasi dan penataan alokasi ruang bagi sektor informal, (ii) regulasi, berupa penerapan kebijakan pemanfaatan ruang publik dan penerapan sangsi yang tegas, (iii) kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat, berupa peningkatan peran seluruh stakeholders dan penerapan kebijakan insentif - disinsentif.

Studi Kasus Reklamasi Teluk Lampung
             Reklamasi pantai yang dilaksanakan pada awal tahun 1980-an dan berlangsung sampai sekarang telah berdampak negatif langsung terhadap nelayan yang wilayah usahanya pada laut dangkal (Sukaraja) maupun nelayan di Dusun Cangkeng –Kotakarang.
            Dampak yang dirasakan oleh nelayan laut dangkal hilangnya beberapa jenis ikan tangkapan seperti rebun, teri, dan kerapan, semakin jauhnya wilayah tangkapan, terumbu karang tersedimentasi oleh lumpur, dan usaha menangkap ikan dengan bubu tidak dapat dilakukan lagi. Akibat dari hal tersebut menurunkan hasil tangkap nelayan yang akhirnya berdampak terhadap kesejahteraan nelayan.

Studi Kasus Reklamasi Jakarta
             Dalam Perda Nomor 1 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012, terutama dalam implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jakarta, khususnya di Jakarta Utara direncanakan pengembangan reklamasi Pantura Jakarta. Proyek itu dimaksudkan selain untuk memperbaiki kualitas lingkungan juga untuk pusat niaga dan jasa skala internasional, perumahan, dan pariwisata.
            Namun, harus disadari pula bahwa reklamasi pantura Jakarta bukan hanya sekadar mengeruk, kemudian memunculkan daratan baru atau untuk kepentingan komersial semata. Lebih dari itu, yang harus dipikirkan bagaimana dampak ekologis kawasan pantai dengan reklamasi tersebut. Contoh saja ketika Pantai Indah Kapuk dibangun, yang terjadi kemudian adalah akses jalan tol ke bandara tergenang air sehingga banjir. Lalu, saat PT Mandara Permai membangun Perumahan Pantai Mutiara di Muara Karang, PLTU Muara Karang pun terganggu. Padahal, pasokan listrik untuk Jakarta dan sekitarnya berasal dari PLTU Muara Karang, Jakarta Utara.

Studi Kasus Reklamasi Donggala
            Reklamasi pantai yang dilakukan sebagai aktifitas proyek jalan lingkar kota Donggala, Saat ini telah menyebabkan pohon-pohon mangrove yang tumbuh di kawasan ini menjadi rusak, batu-batu karang yang biasanya terlihat di pinggir pantai pun sudah tidak tampak lagi, yang terlihat hanyalah tumpukan tanah kapur hasil reklamasi, yang sebahagiannya telah diratakan.
            Karenanya, ditengah perdebatan dan pertentangan terhadap proyek reklamasi Pantai Donggala, diperlukan kebesaran hati dari pengambil kebijakan untuk mengevaluasi pelaksanaan proyek ini sembari membuka ruang dialog dengan berbagai pihak, DPRD, Perguruan Tinggi, LSM, serta masyarakat, untuk duduk bersama guna menimbang untung-rugi proyek ini, apabila benar menguntungkan dan dilaksanakan dengan komitmen dan kesungguhan maka kegiatan ini perlu diteruskan. Sebaliknya bila merugikan maka aktifitas ini harus dihentikan.
            Dengan kata lain Pemerintah Kabupaten Donggala dituntut untuk dapat berkomunikasi, berkonsultasi dan bernegosiasi dengan publik. Hanya dengan jalan ini maka pembangunan yang dilaksanakan akan benar-benar dapat diterima semua pihak dan memberikan keuntungan bagi lingkungan hidup dan masyarakat Donggala.
Menyikapi Reklamasi Pesisir dengan Paradigma Baru
            Di satu sisi reklamasi mempunyai dampak positif sebagai daerah pemekaran kawasan dari lahan yang semula tidak berguna menjadi daerah bernilai ekonomis tinggi. Dan di sisi lain jika tidak diperhitungkan dengan matang dapat berdampak negatif terhadap lingkungan. Di sinilah diperlukan kepedulian dan kerja sama sinergis dari semua komponen stakeholders.
            Reklamasi khususnya reklamasi pantai masih diperlukan selama dilakukan dengan kajian yang komprehensif. Simulasi prediksi perubahan pola arus hidrodinamika laut secara teknis dapat dilakukan dengan model fisik (laboratorium) atau model matematik. Dari pemodelan ini dapat diperkirakan dampak negatif yang terjadi dan cara penanggulangannya.
            Reklamasi ditinjau dari sudut pengelolaan daerah pantai, harus diarahkan pada tujuan utama pemenuhan kebutuhan lahan baru karena kurangnya ketersediaan lahan darat. Usaha reklamasi janganlah semata-mata ditujukan untuk mendapatkan lahan dengan tujuan komersial belaka. Reklamasi di sekitar kawasan pantai dan di lepas pantai dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu diperhitungkan kelayakannya secara transparan dan ilmiah (bukan pesanan) terhadap seberapa besar kerusakan lingkungan yang diakibatkannya. Dengan kerja sama yang sinergis antara Pemerintah dan jajarannya, DPRD, Perguruan Tinggi, LSM, serta masyarakat maka keputusan yang manis dan melegakan dapat diambil. Jika memang berdampak positif maka reklamasi dapat dilaksanakan, namun sebaliknya jika negatif tidak perlu direncanakan.
            Dari semua itu, yang lebih penting adalah adanya perubahan attitude dari masyarakat dan Pemerintah. Pelaksanaan aturan hukum harus ditaati dan dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait.
Berbagai biaya sosial dan lingkungan hidup itu seharusnya juga diperhitungkan dalam perencanaan reklamasi. Namun, sayangnya terdapat paradigma yang memosisikan suatu kota sebagai kota multifungsi, dimana diharapkan mampu mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan warganya. Padahal paradigma itu telah terbukti gagal total dalam implementasinya di lapangan. Berbagai permasalahan sosial dan lingkungan hidup dapat timbul dan sulit dipecahkan di daerah reklamasi saat ini justru disebabkan oleh paradigma tersebut.
            Perencanaan reklamasi sudah seharusnya diselaraskan dengan rencana tata ruang kota. Tata ruang kota yang baru nantinya harus memerhatikan kemampuan daya dukung sosial dan ekologi bagi pengembangan Kota. Daya dukung sosial dan ekologi tidak dapat secara terus-menerus dipaksakan untuk mempertahankan kota sebagai pusat kegiatan ekonomi dan politik. Fungsi kota sebagi pusat perdagangan, jasa dan industri harus secara bertahap dipisahkan dari fungsi kota ini sebagai pusat pemerintahan.
            Proyek reklamasi di sekitar kawasan pantai seharusnya terlebih dahulu diperhitungkan kelayakannya secara transparan dan ilmiah melalui sebuah kajian tekhnis terhadap seberapa besar kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkannya lalu disampaikan secara terbuka kepada publik. Penting diingat reklamasi adalah bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap keseimbangan lingkungan alamiah pantai yang selalu dalam keadaan seimbang dan dinamis, hal ini tentunya akan melahirkan perubahan ekosistem seperti perubahan pola arus, erosi, sedimentasi pantai, serta kerusakan biota laut dan sebagainya.
            Sebuah ekosistem pantai yang sudah lama terbentuk dan tertata sebagaimana mestinya dapat hancur atau hilang akibat adanya reklamasi. Akibatnya adalah kerusakan wilayah pantai dan laut yang pada akhirnya akan berimbas pada ekonomi nelayan. Matinya biota laut dapat membuat ikan yang dulunya mempunyai sumber pangan menjadi lebih sedikit sehingga ikan tersebut akan melakukan migrasi ke daerah lain atau kearah laut yang lebih dalam, hal ini tentu saja akan mempengaruhi pendapatan para nelayan setempat.
            Bukan itu saja, sudah mejadi hukum alam, kegiatan mereklamasi pantai akan menyebabkan penaikan masa air dan memicu terjadinya abrasi yang secara perlahan-lahan akan menggeser dan menenggelamkan kawasan sepanjang pantai bukan hanya di kawasan dimana reklamasi itu dilakukan, namun juga dikawasan lain yang dalam satu kesatuan ekosistim alamiahnya, saat ini di beberapa kawasan, air pasang yang naik bahkan telah memasuki kawasan pemukiman.
            Selain problem lingkungan dan sosial ekonomi, maka permasalahan yuridis juga perlu mendapatkan perhatian. Kajian terhadap landasan hukum rencana reklamasi, pelaksanaan, serta peruntukannya perlu dipertimbangkan. Ada banyak produk hukum yang mengatur tentang reklamasi mulai dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Kepres, Permen hingga Peraturan Daerah, yang menjadi persoalan adalah konsistensi penerapan dan penegakan aturan.

Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
- Kegiatan reklamasi dapat menimbulkan keuntungan maupun dampak secara sosial, ekonomi dan lingkungan.
- Kegiatan reklamasi dapat dilaksanakan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari biaya sosial dan biaya ekonominya, serta memperhatikan dan menjaga kehidupan masyarakat serta kelestarian lingkungan.
- Beberapa kasus yang terjadi menunjukkan bahwa implementasi kegiatan reklamasi di lapangan seringkali tidak sesuai dengan perencanaannya sehingga mengakibatkan kerusakan secara sosial, ekonomi maupun lingkungan, sehingga menimbulkan resistensi dari masyarakat.
- Diperlukan koordinasi dan komunikasi yang sinergis dari segenap stakeholders dalam kegiatan reklamasi sehingga prinsip-prinsip reklamasi dapat berjalan dengan baik.

Daftar Referensi
[1] UU no. 27 tahun 2007
[2] Dampak Reklamasi Pantai Terhadap Kondisi Ekonomi-Sosial Nelayan Di Teluk Lampung, www.blog.unila.ac.id
[3] Menimbang Reklamasi Pantai Donggala, Harian Mercusuar 16 November 2009 dalam www.ediwicak.co.cc
[4] www.tempointeraktif.com
[5] Reklamasi Pantura Jakarta, Berkah atau Bencana?? www.sinarharapan.co.id/berita/0904/20/jab05.html

Sunday, October 18, 2009

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN MOLOKU LOLODA

SEBUAH MATA RANTAI SEJARAH YANG TERPUTUS
Oleh ; Mustafa Mansur, SS
Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Maluku Utara
Staf Pengajar Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

A. Pengantar

Perjalanan waktu yang panjang dari kehidupan manusia di daerah ini hingga keberadaan kita saat ini, cenderung secara alamiah maupun tindakan ketidaksadaran manusia melunturkan fakta-fakta sejarah. Oleh karena itu, kesadaran untuk menguak kembali fakta-fakta historis sebagai landasan berpijak ke depan yang lebih baik adalah tindakan yang sangat bijaksana. Tindakan ini merupakan salah satu makna belajar sejarah, yakni menjadi manusia yang bijaksana dalam berpikir dan bertindak.
Mengacu pada topik di atas, maka makna belajar sejarah dari tulisan ini paling tidak dapat menggugah kesadaran akan nilai-nilai sejarah tanpa harus terjebak pada romantisme masa lalu. Untuk itu bagi generasi Loloda, adalah sesuatu yang tidak berlebihan jika mempelajari sejarahnya sekaligus merekonstruksi nlai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai upaya merancanag bagun masa depan negerinya yang lebih baik.

B. Loloda dalam Kerumunan Politik di Masa Lalu

Perkembangan sejarah Maluku Utara telah memperlihatkan bahwa Loloda merupakan sebuah kawasan dengan komunitas masyarakat yang pada awalnya terbentuk melalui jaringan kekuasaan tradisional. Kondisi ini adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri karena wilayah ini pernah dilegitimasi melalui organisasi politik yang berbentuk kerajaan. Dalam catatan sejarah politik di Maluku Utara, dijelaskan bahwa Kerajaan Loloda merupakan salah satu Kerajaan Maluku yang tidak terkonfigurasi dalam kesatuan Moloku Kie Raha (Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo). Kenyataan ini disebabkan Kerajaan Loloda tidak sempat menghadiri pertemuan Raja-raja Maluku di Pulau Moti (Moti Staten Verbond) pada tahun 1322 yang diprakarsai oleh Raja/Kolano Ternate Sida Arief Malamo.
Tidak dijelaskan secara jelas dalam sumber tertulis kapan Kerajaan Loloda ini terbenuk. Sejarawan Paramita Abdurrahman mencatat bahwa menurut sumber dari Nagara Kartagama Majapahit sebagamana ditulis oleh MPU Prapnca menyebutkan bahwa pada masa paling awal telah berkuasa seorang Kolano di Loloda Halmahera.

Menurut Pemerhati Sejarah lokal Abdul Hamid Hasan dalam bukunya “Aroma Sejarah dan Budaya Ternate” mengungkapkan bahwa secara umum Kerajaan-kerajaan Maluku termasuk Kerajaan Loloda dan Kerajaan Moro berdiri pada abad ke-13. Bahkan disebutkan juga bahwa dua kerajaan ini adalah yang tertua di Halmahera.
Dalam Kroniek Van Het Rijk Batjan (Kronik Kerajaan Bacan) sebagaimana dutulis oleh Coolchaas, dikisahkan bahwa Kerajaan Loloda didirikan oleh Kaicil Komalo Besy, putera Sultan Bacan yang pertama Said Muhammad Baqir Bin Jafar Shadik yang bergelar Sri Maharaja yang bertahta di bukit Sigara dengan perkawinannya dengan Boki Topowo dari Galela.
Menurut cerita masyarakat Loloda mengungkapkan bahwa Kerajaan Loloda didirikan oleh seorang tokoh legendaris yang datang dari Ternate via Galela. Tokoh ini berama Kolano Tolo alias Kolano Usman Malamo. Peristiwa kedatangan Raja Loloda ini berkaitan dngan meletusnya Gunung Tarakani di Galela (cerita lain menyebut Gunung Mamuya) yang kemudian mendorong tokoh ini menyingkir ke Loloda. Dari peristiwa inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal nama Loloda yang dalam bahasa Galela disebut Loda yang berarti pindah atau hijrah. Sebelumnya nama Loloda adalah Jiko Mabirahi.
Dari beberapa versi di atas menunjukkan bahwa keberadaan Loloda dalam sejarah kekuasaan politik di Maluku jelas merupakan suatu keniscayaan sejarah. Sebagai Kerajaan yang tidak mengikuti Persekutuan Moti (Moti Staten Verbond) tahun 1322 sebagaimana disebutkan di atas, maka Kerajaan Loloda pun kemudian tidak terlalu mendominasi panggung sejarah Maluku Utara. Hal ini adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri karena sesungguhnya pengaruh politik Kerajaan Loloda juga tidak teralalu signifikan dalam percaturan politik Kerajaan-kerajaan Maluku ketika itu.
Ketka datangnya bangsa Portogis di Maluku pada abad ke-16, pengaruh Kerajaan Loloda sudah tidak berpengaruh untuk kepentingan Portogis. Dari sejumlah sumber yang ada, hanya mengungkapkan bahwa kepentingan Portogis di Halmahera Utara lebih menonjol pada kawasan Kerajaan Moro yang belakangan terbagi menjadi Moro-Tia dan Moro-Tai (Moro Daratan dan Moro diseberang Lautan). Kondisi ini terekam dari pengaruh Missi Ordo Jesuit Khatolik yang pada akhirnya berhasil membaptis sebagian orang-orang Moro termasuk Raja Moro di Mamuya dengan nama baptisan Don Joao de Mamuya.
Ketika Sultan Baabullah Datu Sjah berhasil mengusir Portogis dari Maluku, Kerajaan Moro kemudian dianeksasi dan digabungkan kedalam wilayah Kesultanan Ternate. Peristiwa ini terjadi pada perempatan terakhir abad ke-16. Dengan demikian maka riwayat Kerajaan Moro pun praktis berakhir. Sementara Kerajaan Loloda masih tetap eksis sebagai salah satu Kerajaan Maluku di Utara Halmahera. Sebagai Kerajaan Maluku yang terletak di Utara Halmahera, Kerajaan Loloda berkedudukan sebagai “Ngara Mabeno” (Dinding Pintu) yang berfungsi sebagai penjaga Pintu dari Utara.


Dalam memori serah terima jabatan Gubernur VOC Maluku dari Robertus Padtgbrugge (1677-1682) kepada penggantinya Gubernur Yacob Loobs (1682-1684), secara jelas telah menyampaikan kedudukan Raja-raja Maluku yakni ; Loloda, Ngara Mabeno (Dinding Pintu), Jailolo, Jiko maklano (Penguasa Teluk), Tidore, Kie Makolano (Penguasa Pegunungan), Ternate, Alam Makolano (Penguasa Maluku) dan Bacan, Dehe Makolano (Penguasa Daerah Ujung). Dari memori ini menunjukan bahwa sampai abad ke-17, Kerajaan Loloda tersebut masih tetap eksis dan berintegrasi sebagai salah satu Kerajaan Maluku sebagaimana halnya Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Bahkan bila dikaji secara objektif, bisa dijelaskan bahwa eksistensi Kerajaan Jailolo-lah yang kemudian berakhir pada abad ini juga yakni pada pada tahun 1684 ketika wafatnya Pangeran Jailolo Kaicil Alam. Perlu juga ditambahkan bahwa sebelum wafat, Kaicil Alam telah ditempatkan sebagai kerabat Kesultanan Ternate karena dinikahi dengan Boki Gamalama adik Sultan Sibori Amsterdam Ternate. Setelah Kacil Alam wafat, maka Jailolo yang sebelumnya berstatus sebagai Kerajaan menurun menjadi Distrik dibawah otoritas Kesultanan Ternate dengan Kepala Distrik atau Hoofh Distrik bergelar Sangaji Jailolo.
Sementara status dan pengaruh politik Kerajaan Loloda baru mengalami degradasi pada Abad ke-18. Kondisi ini bisa dilihat bahwa secara politis, dalam abad ke-18 ini Maluku Utara hanya terbagi kedalam tiga kerajaan yang mempunyai hubungan formal dengan VOC yang berkepentingan mengamankan monopoli remaph-rempah. Ketiga kerajaan tersebut adalah ; Ternate. Tidore dan Bacan. Sdangkan Kerajaan Loloda seakan-akan disetarakan statusnya setingkat Distrik seperti halnya Kerajaan Jailolo yang telah menjadi Distrik sejak abad ke-17. Hal ini bisa dilihat berdasarkan sumber sejarah yang tersediah menjelaskan bahwa dalam abad ke-18 ini terdapat sembilan Distrik di Halmahera Utara yang berada dibawah Kesultanan Ternate, yakni ; (1) Galela (2) Tobelo (3) Kau (4) Loloda (5) Gamkonora (6) Tolofuo (7) Tobaru (8) Sahu dan (9) Jailolo. Juga terdapat satu Distrik di Zazirah selatan yakni Distrik Gane. Dalam sumber ini lebih jelas diungkapkan bahwa Penguasa Loloda tidak pernah menyandang gelar Kepala Distrik atau yang biasa disebut Sangaji, tetapi Penguasa Loloda tetap menggunakan gelar Kolano Loloda. Ini menunjukan bahwa ada upaya Penguasa Loloda untuk mempertahankan integritas Kerajaannya. Sementara di Jailolo, Kepala Distriknya tetap menggunakan gelar Sangaji Jailolo.
Status Jailolo kemudian mengalami kontroversi antara Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore ketika Sultan Nuku sengaja membangkitkan kembali Kerajaan Jailolo pada tahun 1796 dengan mengangkat Jogugu Kesultanan Tidore dengan gelar Muhammad Arif Billa sebagai Sultan Jailolo. Sebelum memangku jabatan Jogugu, Muhammad Arif Billa pernah memangku jabatan Sangaji Tahane Makian sehingga ia sering disebut Jogugu Tahane. Upaya Nuku untuk menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo ini merupakan inspirasi dari cita-cita pendahulunya yakni Sultan Syaifuddin yang pernah berinisiatif untuk menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo sebagai salah satu pilar pranata politik di Maluku. Akan tetapi inisiatif Sultan Sayifudin ketika itu tidak pernah ditanggapi oleh VOC maupun Kesultanan Ternate sebagai patner kepercayaannya.
Keberadaan Kerajaan Jailolo yang dibentuk oleh Nuku dengan mengangkat Muhammad Arif Billa sebagai Sultan Jailolo sesungguhnya menimbulkan kontroversi antara sebagian orang-orang Alifuru yang telah menjadi kawula Kesultanan Ternate dan sebagian lainnya yang menyatakan setia kepada Nuku. Hal ini terjadi karena Muhammad Arif Billa bukan berasal dari keturunan Raja-raja Jailolo. Akan tetapi menurut Nuku, bahwa pengangkatan Muhammad Arif Billa sebagai Sultan Jailolo adalah sah. Dalam satu suratnya kepada Gezaghebber Ternate, Nuku menjelaskan bahwa pengangkatan Raja Jailolo itu didukung tidak saja oleh para Bobato negeri Soa-sio dan negeri-negeri lainnya di Pulau Tidore, tetapi juga oleh para Bobato Halmahera Timur (Maba, Weda, Patani) dan beberapa Bobato di Halmahera Utara termasuk Raja Loloda dan anggota bangsawan Ternate yang melarikan diri ke Tidore.
Dalam uraian Surat Nuku kepada Gesaghebber Ternate di atas, bisa dikatakan bahwa Kerajaan Loloda dalam pandangan Nuku pun masih memiliki kekuasaan atas wilayahnya. Sedangkan fungsi Kesultanan Jailolo yang baru dibentuknya itu pada prinsipnya berada dibawah Nuku dalam mengimbangi hegemoni terhadap Kerajaan-kerajaan Maluku lainnya terutama Ternate. Sementara dimata Kesultanan Ternate, bisa dikatakan bahwa status Jailolo tetap merupakan sebuah Distrik yang berada dibawah otoritasnya.
Eksistensi Kerajaan Jailolo yang dibentuk oleh Nuku di atas ternyata tidak berlangsung lama, Setelah Nuku wafat pada tahun 1805, integritas Kerajaan Jailolo inipun terancam dan mendorong Raja Jailolo Muhammad Arif Billa bersama keluarga dan pengikutnya meningalkan Jailolo. Mereka memburu hutan belantara menuju pedalaman Timur Halmahera dan akhirnya Muhammad Arif Billa tewas akibat terjatuh di sebuah jurang yang sangat berbahaya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1807.
Setelah Muhammad Arif Billa wafat, puteranya Kimalaha Sugi mendeklarasikan dirinya sebagai Sultan Jailolo dihadapan pengikutnya dengan gelar Muhammad Asgar. Ketika Inggris berkuasa di Maluku (1810-1817), Muhammad Asgar tidak diakui sebagai Sultan Jailolo karena ia belum pernah diangkat oleh satu penguasa yang berhak, dan menurut Inggris ia tidak berhak menggunakan gelar Sultan Jailolo. Ia kemudian ditangkap dan di asingkan ke Seram Utara. Dari peristiwa inilah keluarga dan pengikut Muhammad Asgar kemudian mengungsi ke Seram Utara untuk bergabung dengan Muhammad Asgar yang dianggap sebagai Rajanya. Akan tetapi ketika Inggris menyerahkan kembali kekuasaan di Maluku kepada Belanda pada tahun 1817, Muhammad Asgar kemudian diserahkan kepada Belanda. Ketika Muhammad Asgar mengajukan permohonan kepada Panitia pengambil alih kekuasaan dari Inggris kepada Belanda-agar dibebaskan dan diperkenankan untuk kembali memimpin masyarkatnya di Halmahera, ia pun kemudian diasingkan lagi oleh Belanda ke Jepara.
Setelah Muhammad Asgar diasingkan ke Jepara, adiknya Hajudin menyatakan dirinya sebagai Sultan Jailolo terhadap pengikutnya. Ia dan pengikutnya meminta kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui sebagai Sultan Jailolo. Permintaan itu dilakukan melalui tekanan dan aksi-aksi, akan tetapi upaya mereka tidak pernah ditanggapi oleh pihak Belanda bahkan Hajudin dinyatakan statusnya sebaai buron dan pembangkan.
Pengakuan Pemerintah Hindia Belanda tehadap Kerajaan Jailolo sebagamana yang diupayakan oleh Hajudin dan pengikutnya di atas, baru membuahkan hasil ketika Pitter Merkus menjabat sebagai Gubernur Maluku (1822-1828). Akan tetapi Gubernur Pitter Merkus mengusulkan agar Kerajaan Jailolo yang akan dibentuk berlokasi di suatu koloni wilayah di Seram Pasir bukan di Halmahera. Usulan ini akhirnya diterima oleh Hajudin, namun kedudukan Sultannya diserahkan kepada kakaknya Muhammad Asgar yang berada di Jepara. Berdasarkan permintaan Hajudin tersebut, pada tahun 1825 Pemerintah Hindia Belanda pun mengembalikan Muhammad Asgar ke Ambon dan pada tangal 25 Januari 1826, Muhammad Asgar dilantik sebagai Sultan Jailolo yang akhirnya dikenal dalam sejarah sebagai Kerajaan Jailolo di pengasingan Seram.
Sebagai Kerajaan yang memiliki hubungan politik dengan Belanda, Kerajaan Jailolo di pengasingan Seram inipun praktis berada dbawah kendali Pemerintah Hindia Belanda. Ketika Muhammad Asgar dan pengikutnya membangkan ingin kembali membangun kekuasaannya di Jailolo Halmahera, pada tahun 1830 Pemerintah Hindia pun kemudian melikuidasi Kerajaan Jailolo di Pengasingan Seram ini. Muhammad Asgar dan keluarganya kemudian diasingkan ke Cianjur Jawa Barat. Peristiwa ini menandakan berkahirnya Kerajaan Jailolo babak kedua.
Sementara Status Jailolo di Halmahera tetap merupakan sebuah Distrik dibawah otoritas Kesultanan Ternate dengan Kepaa Distrik bergelar Sangaji Jailolo. Pada tahun 1868, status Distrik Jailolo berubah menjadi Soa/Kampung dengan Kepala Kampung bergelar Fanyira Jailolo.
Belakangan pada tahun 1886, Dano Hasan Baba seorang bangsawan asal Ternate berupaya untuk menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo. Ia meminta kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakuinya sebagai Sultan Jailolo. Akan tetapi permintaannya tidak pernah mendapat respon positif bahkan ia dianggap menjadi pembangkan. Dano Hasan kemudian ditangkap dan diasingkan ke Pulau Muntok Sumatera.
Sementara status Loloda tetap dipandang sebagai sebuah Distrik meskipun Penguasa Loloda tidak pernah menyandang gelar Kepala Distrik atau sangaji tetapi senantiasa memakai titel Kolano Loloda. Dalam Suarat Gezaghebber Ternate tertanggal 8 September 1808 yang memuat laporan tahunan kepada Gubernument, menjelaskan bahwa Kepala Distrik Loloda yang memakai titel Kolano Loloda memiliki perangkat Pemerintahan seperti pada Kerajaan Ternate yakni Bobato Madopolo yang lengkap yang terdiri dari Jogugu, Kapita Laut, Hakim sampai pada Sowohi dan Jabatan-jabatan dibawah lainya. Kenyataan ini menunjukan bahwa pada abad ke-19 ini, Kerajaan Loloda masih tetap eksis, hanya saja peranan politiknya tidak bisa mengimbangi kekuatan politik Kerajaan Ternate, Tidore dan Bacan. Bahkan Loloda seakan-akan berada dibawah Kesultanan Ternate dalam membangun hubungan politik dan ekonomi dengan Belanda.
Dalam Silsilah Raja-raja Loloda maupun sumber-sumber lisan masyarakat Loloda, mengungkapkan bahwa Kerajaan Loloda baru brakhir pada awal abad ke-20 yakni pada tahun 1908. Dalam sejarah masyarakat Loloda, tahun 1908 dikenang dengan sebutan Kolano Madodogu (Masa Raja terakhir). Peristiwa ini berkaitan dengan pergolakan politik di internal kerajaan dan pengaruh kebijakan Pemerintah Hindia Belanda terhadap pembayaran Balasting (Pajak Diri). Diungkapkan dalam kisah ini bahwa ketika wafatnya Kolano Sunia dalam bilangan awal abad ke-20 ini, terjadi perebutan Tahta Kolano Loloda oleh empat orang Kaicil (Jongofa) yakni Jongofa Arafane, Jongofa Syamsudin, Jongofa Nasu dimana ketiganya merupakan putera dari Kolano Sunia dan Jongofa Koyoa yang merupakan putera dari Kapita Lau Dumba. Dalam perebutan ini, Jongofa Syamsuddin berhasil menduduki Tahta Kolano Loloda atas keinginan para Bobato dan pertimbangan Kesultanan Ternate maupun Belanda. Sementara Jongofa Arafane direstui sebagai Kapita Lau, Jongofa Nasu diberi penghormatan sebagai Kapita Lau Majojo (Kapita Lau Muda). Sementara Kayoa hanya berhak menyandang gelar Jongofa atau Kaicil. Karena tidak merasa puas dengan kedudukannya, Koyoa pun kemudian memutuskan untuk tidak bergabung dengan keluarga Istana. Ketika dilakukan penagihan Balasting oleh pegawai utusan Belanda di Loloda, Kayoa mengajukan protes terhadap Kolano Syamsuddin karena dianggap tidak bijaksana menjadi seorang Kolano. Ia membiarkan pihak Belanda memungut pajak secara semena-mena terhadap rakyat. Menurut Kayoa, pembayaran Balasting atau pajak mesti diserahkan oleh rakyat kepada pihak kerajaan bukan kepada Belanda.
Aksi Kayoa ini diekspresikan dengan memprovokasi warga untuk menjatuhkan kewibawaan Kolano Syamsuddin. Ketika utusan/mantri Pajak Belanda sedang berada di dalam Keraton Loloda, seorang Kapita dari Soa Laba yang bernama Sikuru dengan dua rekannya Bagina dan Tasa dari Soa Bakun mendatangi Keraton sambil membunuh Mantri Pajak Belanda tersebut di hadapan Kolano Syamsuddin dan Joboki Habiba sebagai bentuk protes terhadap Kolano Syamsuddin. Kapita Sikuru, Bagina dan Tasa adalah pesuruh Kaicil Kayoa.
Akibat pembunhan terhadap Mantri Pajak Belanda di atas, menimbulkan amarah pihak Belanda karena dianggap menentang kebijakan Pemerintah Hindia. Belanda pun kemudian mendatangkan aparat keamanannya untuk meredah aksi yang dilakukan oleh tiga warga Loloda tersebut. Akan tetapi kedatangan aparat Belanda di Loloda tersebut sempat dihadang oleh Kapita Sikuru dari Soa Laba dan sekelompok masyarakat yang telah disiapkan oleh Kaicil Kayoa. Perlawanan ini oleh masyarakat Loloda dikenang sebagai peristiwa Perang Laba (Rogu Laba) tahun 1908.
Perlawanan terhadap Belanda tersebut, mengakibatkan Kolano Syamsuddin diminta untuk mempertanggungjawabakan aksi warganya. Ia kemudia dibawah ke Ternate bersama Permaisurinya Joboki Habiba dan anak-anaknya. Karena tidak dapat mempertanggung jawabkan aksi yang dilakukan oleh warganya, Kolano Syamsuddin pun kemudian tidak diperkenankan kembali ke Loloda. Ia sempat dibawah ke Jawa dan baru diperkenankan kembali ke Ternate pada tahun 1915. Sementara Permaisurinya dan anak-anaknya tetap berada di Ternate. Joboki Habiba wafat pada tahun 1912 dan Kolano Syamsuddin wafat pada tahun 1915. Keadaan ini menggambarkan bahwa Kolano Syamsudin wafat setelah dikembalikan oleh Belanda dari pengasingan di Pulau Jawa.
Sementara di Jailolo, pemberontakan serupa baru terjadi pada tahun 1914 yang dipelopori oleh Kapita Banau. Atas pemberontakan tersebut, Kontrollir Belanda Aggerbek tewas terbunuh.
Sebagai akibat dari pemberontakan yang dilakukan oleh warga Jailolo tersebut di atas yang telah menjadi kawula Kesultanan Ternate mengakibatkan Sultan Ternate Muhammad Usman Sjah dituduh oleh Belanda terlibat dalam pemberontakannya. Atas tuduhan itu, maka melalui Keputusan (Besluit) Gubernument no. 47 tertanggal 23 September 1915, Sultan Muhammad Usman kemudian dinyatakan diberhentikannya sebagai Sultan Ternate. Ia dan putera tertuanya diasingkan ke Bandung dan baru diperkenankan kembali ke Ternate pada tahun 1933. Semasa dalam pengasingannya, Pemerintahan Kesultanan Ternate dijalankan oleh para Bobato. Hal ini berdasarkan Besluit Pemerintah Hindia Belanda no. 7 tangal 10 Mei 1916.
Setelah diasingkannya Kolano Syamsuddin sejak tahun 1908 ketika terjadi pergolakan di Loloda, maka mulai saat itulah Kerajaan Loloda pun berakhir. Loloda pun kemudian menjadi wilayah otoritas penuh dibawah Kesultanan Ternate, meskipun pada masa sebelumnya Loloda sudah merupakan bagian dari Kerajaan Ternate dalam membangun hubungan politik dan ekonomi dengan Belanda.
Berdasarkan sumber-sumber dari masyarakat Loloda, bahwa setelah berakhirnya kekuasaan Kolano Syamsuddin atas negeri Loloda, Pemerintahan di Loloda kemudian disesuaikan dengan menggunakan gelar Sangaji. Hal ini berbeda dengan masa sebelumnya, yakni Penguasa Loloda senantiasa memakai titel Kolano Loloda. Dijelaskan lebih lanjut bahwa para sangaji Loloda adalah orang-orang luar yang ditempatkan oleh pihak Kesultanan Ternate.
Belakangan pada tahun 1930, status Distrik Loloda dibagi menjadi empat Onder Distrik dengan Kepala Onderf Distrik (Hoof Onder Distrik) disebut Hamente (terkadang disebut Kepala Mente), yakni (1) Onder Distrik Soa-sio yang mencakup wilayah Loloda bagian Selatan dengan Kepala Onder Distrik atau Hamente dipegang oleh Kaicil Djami Bin Syamsuddin (Putera Kedua Kolano Syamsuddin). (2) Onder Distrik Baja yang mencakup wilayah Loloda bagian Tengah dengan kepala Onder Distrik atau Hamente dipegang oleh Kaicil Puasa (Putera Kapita Lau Arafane), (3) Onder Distrik Dama untuk wilayah Loloda bagian Kepulauan dengan Kepala Onder Distrik atau Hamente dipegang oleh Hammanur, dan (5) Onder Distrik Dorume untuk Loloda bagian Utara. Hal ini berdasarkan Zelf Bestuur Releging Pemerintah Hindia Belanda tahun 1930 yang tetap membagi Pemerintahan Maluku Utara kedalam tiga Swapraja Kesultanan yakni Swaparaja Kesultanan Ternate, Tidore dan Bacan. Tiap Swaparaja Kesultanan dibagi kedalam beberapa Distrik dan Distrik membawahi beberapa Onder Distrik.

C. Status Kerajaan Loloda setelah Kemerdekaan Indonesia.

Pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, Pemerintahan Maluku Utara masih menerapkan pola Pemerintahan sebelumnya yakni kolaborasi antara pola Pemerintahan ala kerajaan dan pola Pemerintahan Hindia Belanda. Pada fase ini daerah Maluku Utara masih berbentuk Keresidenan. Sedangkan pada tingkat bawah dinamakan Distrik dengan Kepala Distrik disebut Sangaji. Sementara Onder Distrik sudah tidak diberlakukan. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1960 saat perubahan nomenklatur dari nama Keresidenan menjadi Kabupaten dan Distrik berubah menjadi Kecamatan. Salah satu ciri yang membedakan dengan masa sebelum kemerdekaan adalah Kepala Keresidenan atau Residen pada masa setelah kemerdekaan ini dijabat oleh Sultan. Adapun nama-nama Residen Maluku utara dimaksud adalah :

1. Residen Iskandar Muhammad Djabir Sjah (Sultan Ternate) 1945-1954
2. Residen Zainal Abidin Sjah (Sultan Tidore) 1954-1956
3. Residen Dede Muksin Usman Sjah (Sultan Bacan) 1956-1960

Berkenaan dengan pola Pemerintahan di atas, maka pengangkatan dan penempatan para Kepala Distrik atau sangaji masih menjadi kewenangan Sultan yang juga sebagai Kepala Daerah atau Residen, tidak terkecuali bagi Distrik Loloda.
Status Loloda sebagai Distrik merupakan konsekwensi dari sistem penyetaraan status Kerajaan Loloda setingkat Distrik sejak abad ke-18 meskipun Kepala Distrik Loloda (Hoofh Distrik) senantiasa memakai titel Kolano Loloda. Akan tetapi satu hal yang berbeda setelah kemerdekaan Indonesia ini adalah terdapat kedudukan Sangaji Loloda dan juga ada kedudukan Jogugu Loloda. Sangaji Loloda ditempatkan oleh Residen Maluku Utara saat itu yang juga selaku Sultan Ternate untuk menjalankan Pemerintahan Distrik. Sedangkan Jogugu Loloda dikukuhkan oleh Kesultanan Ternate sebagai Pewaris dan Pengemban Kerajaan Loloda. Adapun Jogugu Loloda pada masa itu adalah Kaicil atau Jongofa Djami Bin Syamsuddin, putera kedua Kolano Syamsuddin (Raja Loloda terakhir).
Dalam kedudukannya sebagai Jogugu Loloda yang dikukuhkan oleh Kesultanan Ternate, keberadaannya dalam masyarakat Loloda, ia diangap sebagai Kolano. Hal ini dilakukan karena kebiasaan masyarkat Loloda yang mengangap seorang Jongofa (Putera Mahkota) adalah pewaris Tahta Kolano sebagaimana yang melekat pada Jongofa Hi. Djami Bin Syamsuddin. Oleh masyarakat Loloda ketika itu, ia mendapat penghormatan sebagaimana layaknya seorang Kolano. Ia tidak disebut sebagai Jogugu melainkan Jou Kolano. Realitas ini menunjukkan bahwa ketika Kerajaan Loloda disetarakan setingkat Distrik oleh Belanda dan Kesultanan Ternate pada abad ke-18, Penguasa Loloda tidak pernah menyandang gelar Kepala Distrik atau sangaji tetapi seantiasa menggunakan titel Kolano Loloda.
Ketika menjalankan fungsi dan perannya sebagai Jogugu yang juga diangap sebagai Kolano Loloda saat itu, ia dibantu oleh beberapa perangkat Bobato seperti kapita Lau yang disandang oleh Jongofa Syahjuan (Putera Kapita Lau Majojo, Nasu), Johukum Soa-sio yang disandang oleh Jongofa Nanggu (Putera sulung Kolano Syamsuddin) dan Imam Loloda, Umar Bin Malan. Sementara adiknya, Djama hanya memakai titel Jongofa (Putera bungsu Kolano Syamsuddin). Perangkat-perangkat Bobato ini memiliki kesamaan pada abad ke-18. Hal ini bisa dilihat dari uraian Surat Gezaghebber Ternate tertangal 8 September 1808 sebagaimana disebutkan di atas.
Meskipun fungsi Jogugu yang juga dianggap sebagai Kolano di atas terbatas pada masalah-masalah Pemerintahan, akan tetapi status sosialnya sangat berpengaruh terhadap masyarakat. Bahkan pengaruhnya lebih mendominasi peran Sangaji Loloda saat itu. Akan tetapi ketika ia wafat, maka kedudukan Jogugu atau Kolano Loloda ini pun praktis vakum. Tiga puteranya, masing-masing Jongofa Abd. Malik, Jongofa Maulud dan Jongofa Haibu pun tidak dapat mengambil fungsi dan peran Jogugu/Kolano Loloda di atas. Hal ini karena tidak ada inisiatif baik dari masyarakat Loloda maupun Kesultanan Ternate. Jogugu/Kolano Loloda ini wafat pada tahun 1977 di Ternate, tanah asal Ibunya dan dimakamkan dipekuburan keluarga Klan Jiko Ternate. Ibunya Joboki Habiba berasal dari Soa Moti Kasturian Kesultanan Ternate.

D. Status Kerajaan Loloda setelah Reformasi 1998

Sebagaiman telah dikemukakan sebelumnya bahwa setelah kemerekaan Indonesia, status dan struktur Kelembagaan Adat Kerajaan Moloku Loloda ini kemudian mengalami reduksi dari kepemimpinan Raja/Kolano menjadi setingkat Jogugu. Kondisi ini terjadi karena pengaruh Kesultanan Ternate yang mendominasi system politik local ketika itu. Jogugu Kerajaan Moloku Loloda tersebut diangkat oleh Kesultanan Ternate dari Putera Mahkota Kolano Loloda, Kaicil Hi. Djamilullah Bin Syamsuddin. Gelar Jogugu bisa disamakan dengan Mangkubumi. Dalam meniatur Negara, Jogugu atau Mangkubumi disamakan dengan Jabatan Perdana Menteri. Dengan demikian, bisa diungkapkan bahwa setelah kemerdekaan Indonesia, Jogugu Loloda memegang peranan utama dalam kepemimpinan Lembaga Adat Kerajaan Moloku Loloda. Dalam menjalankan fungsinya, Jogugu Kerajaan Moloku Loloda didampingi oleh perangkat utamanya seperti Kapita Lau, Hukum Soa-sio, Tuli Lamo dan Sowohi. Kapita Lau dapat disamakan dengan Panglima Armada Laut. Hukum Soa-sio adalah Menteri Urusan Dalam Negeri, Tuli Lamo sebagai Sekretaris dan Sowohi berfungsi sebagai Humas dan Protokoler.
Lembaga Adat Kerajaan Moloku Loloda dengan kepemimpinan Jogugu ini senantiasa eksis dizamannya hingga Jogugu tersebut wafat pada tahun 1977. Sejak saat itu Lembaga ini mulai vakum selama 31 tahun, dan baru pada tahun 1999 dibangkitkan kembali atas insiatif Kesultanan Ternate dengan mengangkat Kaicil (Pangeran) Bayan A. Syamsuddin sebagai Jogugu Kerajaan Moloku Loloda beserta perangkat Bobatonya. Akan tetapi pada tahun 2004 lalu, Jogugu Bayan A. Syamsuddin ini pun tutup usia, dan kelembagaan Adat Kerajaan Moloku Loloda dengan perangkat Bobato seperti Kapita Lau dan Hukum Soasio terkesan berjalan ditempat karena pengaruh usia yang telah lanjut.
Untuk mengisi kekosongan kedudukan Jogugu Kerajaan Moloku tersebut, maka sesuai Adat Se-Atorang (hukum adat Loloda), telah dinobatkan Kaicil (Pangeran) Lutfi M. Syamsuddin. A.Ptnh sebagai Jogugu Kerajaan Moloku Loloda. Penobatannya dilaksanakan dalam suatu Upacara Kebesaran Adat Loloda pada tanggal 30 Oktober 2008 di Keraton Kesultann Ternate.
Status dan keberadaan Jogugu Loloda bersama Bobatonya di atas pada prinsipnya memiliki ciri yang tidak berbedah jauh pada Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Hal ini bisa dilihat dari kedudukan Tau raha (Komisi 4) pada Kesultanan-kesultanan di atas sebagai berikut :

KesultananTernate:
1. Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Hukum Soa-sio
4. Hukum Sangaji
Kesultanan Tidore:
1 .Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Kapita Kie
4. Hukum Soa-sio
Kesultanan Bacan:
1. Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Qadhie
4. Kapita Ngoga
Kesultanan Jailolo:
1. Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Kapita Lau
4. Qadhie
Sumber : Mudafar Sjah, 2005.

Berdasarkan kedudukan Tau Raha pada masing-masing Kesultanan di atas, maka di Loloda juga terdapat kedudukan Tau Raha (Komisi Ngaruga) yakni ; Kapita Kie. Hukum Soasio, Hukum Bakun Malamo dan Sowohi. Jogugu tidak masuk dalam Tau Raha, karena Jogugu meaksanakan fungsi Kolano Loloda. Dengan demikian, maka Jogugu Loloda adalah Pewaris sekaligus Pengemban Kolano Kerajaan Moloku Loloda adalah merupakan suatu keniscayaan sejarah.

E. Penutup

Meskipun memiliki akses yang terbatas dalam kanca politik lokal, realitas sejarah juga telah menunjukkan bahwa kerajaan Loloda senantiasa eksis pada zamannya, dan cukup memberikan perkembangan khas tersendiri dalam pembentukan masyarakat dan budayanya. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari penegasan identitas lokal masyarakat Adat Loloda.
Masyarakat Adat Loloda adalah bagian integral dari masyarakat Indonesia yang hidup berdasarkan asal-usul leluhurnya secara turun-temurun dalam suatu wilayah adat, dimana kehidupan sosial budayanya tidak terlepas dari pengaruh hukum adat dan lembaga adat. Adapun lembaga adatnya di-integrasikan kedalam satuan pemerintahan kerajaan. Kenyataan ini berlangsung hingga saat ini, dimana Kepemimpinan (Dada Madopo) Kerajaan dipegang oleh Jogugu sebagai Pewaris dan Pengemban Kolano Kerajaan Moloku Loloda.

Saturday, October 3, 2009

Tobelo Marahai


Kota Tobelo Marahai. Marahai artinya Indah/bagus, beautiful. Apakah tobelo masih marahai? Itu tergantung dari penilaian kita masing-masing. Bisa ditinjau dari tata ruang kotanya, bisa ditinjau dari kebersihannya, bisa juga ditinjau dari kedisiplinan masyarakatnya. Semoga semboyan itu tetap ada dihati segenap masyarakat Tobelo.

Sebagai kota yang plural, Tobelo juga dikunjungi, bahkan ditempati oleh para pendatang dari berbagai belahan bumi lain. Disini kita belajar ber-bhineka tunggal ika.

Pesisir Tobelo (dari Pelabuhan TPI)

Suasana jalanan Kota Tobelo pada pagi hari memang sangat lengang. Tak jarang di lampu merah seperti ini, mobil harus berhenti, walaupun tidak ada mobil/kendaraan dari arah lain yang lewat. Jika tidak ada Polisi yang mengawasi, biasanya ada kendaraan yang nekat melintas dengan kecepatan tinggi melawan lampu merah. Resikonya, ketika tiba-tiba dari arah lain (yang lampunya hijau) muncul kendaraan maka tak jarang terjadi kecelakaan. Apakah tidak dilakukan analisa terlebih dahulu sebelum diputuskan penggunaan traffic light seperti ini?? hmm...

ang penting para pengguna jalan hati-hati aja supaya jangan kecelakaan. Apalagi di Tobelo banyak yang baru belajar naik motor atau mengemudi mobil. Kadang saat membawa kendaraan kita sudah sangat hati-hati namun karena pengemudi lain tidak hati-hati, terjadi kecelakaan juga. Dan ini sering terjadi, apalagi jika pengemudi mabuk "ciu/cap tikus", tak jarang menyebabkan meninggal dunia.
Pertigaan Hotel President

Waktu masih di Tobelo biasanya setiap pagi belanja kue-kue di pasar samping Galaxy Mart. Tapi itu dulu, sebelum dibongkar dan dipindahkan ke Wosia. Namun kekurangtegasan pemerintah menyebabkan pasar ditengah kota tersebut dibangun lagi secara darurat oleh para pedagang yang merasa omzetnya tidak meningkat ketika berjualan di pasar wosia. Namun saya tidak membahas kebijakan pemerintah dan carut-marut urusan pasar disini. Kenangan memilih-milih kue-kue tradisional kesukaan di pagi yang cerah begitu membekas. Sagu bulu campur gula merah yang dibakar dalam bambu tidak pernah saya lewatkan. "Mama-mama yang menjual selalu tersenyum menyambut pembeli dengan logat khas Galela, menyatakan bahwa sebagian besar mama-mama tersebut berasal dari Galela.

Sajian jajanan kue tradisional di pasar Tobelo (suasana yang tinggal kenangan)

Bagi ibu-ibu yang berbelanja untuk keperluan rumah tangga tidak perlu repot, semua tersedia. Sayur-mayur segar, buah-buahan segar, ikan segar, macam-macam jenis dan harganya, tinggal pilih aja...